Kanker Paru - Penyebab Kematian Nomor 1 di Indonesia dan Dunia
Teman-teman dekat saya paham benar bagaimana saya sangat tidak nyaman dengan asap rokok. Terkena sedikit saja asap rokok, saya bisa mengalami radang tenggorokan; lupa minum obat alergi bisa berakibat batuk dan pilek. Menyebalkan? Bangettt..
Selain itu, kebiasaan merokok orang-orang dalam lingkungan keluarga telah mengakibatkan kematian, dikarenakan serangan jantung dan kanker.
Kurang dari dua tahun lalu, kami kehilangan mertua dari adik saya. Walaupun bisa dibilang jauh, tapi beliau termasuk dekat dengan saya. Setiap saya berkunjung, dia selalu ramah. Senyum manisnya selalu saya rindukan. Sekitar 2 tahun sebelum kematian, beliau di diagnosis kanker paru, segala daya upaya pengobatan dilakukan hingga akhirnya beliau wafat.
Saat itu dokter sebenarnya juga kagum dengan kemampuan bertahan beliau bisa hampir 2 tahun, dimana kebanyakan orang pada stadium tersebut hanya bisa bertahan kurang dari 1 tahun.
Tahukah Kamu:
- Rokok merupakan faktor utama dari kanker paru.
- Di Indonesia; rasio pria terkena Kanker Paru sebesar 21:100.0000 dengan range usia 15-70 tahun dimana resiko kematian sebesar 18:100.000; rasio wanita terkena Kanker Paru sebesar 6,5:100.0000 dengan resiko kematian sebesar 5,5:100.000
- Kanker paru berada di peringkat 1 penyebab kematian di dunia dan di Indonesia
- Hanya 13,7% pasien kanker paru yang bertahan hidup dalam 5 tahun setelah mendapat diagnosis, dengan rata-rata harapan hidup 8 bulan
- Pasien yang hidup dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya.
- Dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan merupakan yang terbesar di antara semua jenis kanker. Dikarenakan biaya pengobatannya yang besar, kanker paru juga berpotensi mempengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang seringkali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka
Selain rokok (perokok aktif maupun pasif), ada faktor resiko lain seperti riwayat kanker paru di dalam keluarga dan tempat kerja. Dimana mereka yang bekerja di sektor bangunan, rentan terkena kanker paru di kemudian hari.
Menurut Prof. dr. Elisna Syahruddin, Ph.D., Sp.P(K)Onk, Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), skrining dan deteksi dini sangat diperlukan agar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini sehingga upaya untuk meningkatkan angka tahan hidup (kesintasan) dapat dicapai. Skrining dan deteksi dini dapat dilakukan pada orang-orang yang beresiko dengan kesadaran sendiri dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Saat ini di Indonesia program skrining dan deteksi dini, belum tercover semuanya di dalam program BPJS dimana tidak mencukupi untuk pemeriksaan molekuler seperti EGFR, ALK dan PD-L1. Selain itu, juga belum adanya program skrining kanker paru dari pemerintah, sehingga pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan yang dibutuhkan karena adanya kendala biaya; serta dari sisi pengobatan banyak kebutuhan pengobatan yang tidak bisa didapatkan pasien.
Menurut dr. Else Mutiara Sihotang, Koordinator RS Pendidikan, mewakili Kementerian Kesehatan RI; Pemerintah sendiri telah menyadari besarnya beban penyakit tidak menular seperti kanker bagi pembangunan bangsa, dan berkomitmen untuk mengurangi kematian hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, termasuk kanker pada tahun 2030.
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2019-2024 juga menetapkan target 100% kabupaten/kota melakukan deteksi dini penyakit kanker di ≥ 80% populasi usia 30-50 tahun pada tahun 2024, terutama untuk kanker payudara, kanker serviks, kanker paru, dan kanker kolon.
Pada webinar dengan tajuk Membuka Lebar Pintu Harapan: Meningkatkan Kesintasan Pasien Kanker Paru melalui Deteksi Dini, Diagnosis, dan Tata Laksana yang Berkualitas yang diselenggarakan oleh Roche Indonesia, banyak informasi yang saya dapatkan terkait Kanker Paru ini. Webinar ini berlangsung pada tanggal 8 Februari, bertepatan dalam rangkaian Peringatan Hari Kanker Sedunia 2022 bekerjasama dengan Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) dan IASTO (Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology).
Dibutuhkan peran masyarakat untuk lebih aware akan bahaya dari kanker paru ini. Tidak bisa dipungkiri, dengan prevalensi perokok aktif di Indonesia sebesar 33.6% atau sepertiga dari seluruh populasi dewasa, kerjasama multipihak menjadi mutlak. Secara khusus terkait pengendalian faktor risiko dan pencegahan kanker paru, pemerintah juga telah dan akan terus berupaya menjalankan program pengendalian tembakau dan rokok.
Next time you are going to smoke, just remember, do you want to suffer from cancer or do you want to be as healthy as you can be?
The choice is yours!
Comments
Post a Comment