Jadi Pramugari Itu Gak Gampang
Pramugari/pramugara,
flight attendant, stewardess, air hostess...
Whatever you
name it, pasti pada tahu lah ya dengan profesi satu ini. Profesi yang terkesan
glamor ini sebenarnya gak seglamor yang dibayangkan loh.
Alhamdulillah
sempat merasakan jadi pramugari hampir 5 tahun , walau udah lama berhenti tapi
kerjaan satu ini menyimpan banyak kenangan. Sempat beberapa kali sih saya tulis
di Kompasiana sekian tahun lalu *maaf ya lagi males nge-search tulisan –
tulisan lama nih, hehe.
Yang jelas,
saya paling sebel kalau ada yang bertanya, “eh, bener gak sih kisah pramugari
dengan pilot?” hayyahhh, yang kaya gini bisa terjadi di segala macam profesi
lah ya. Kenapa juga kalo di penerbangan koq kesannya jadi istimewa banget!
Kerja di
pesawat terbang tuh syarat – syaratnya segambreng tergantung airlinesnya. Yang jelas,
harus mencapai tinggi tertentu (paling gak , bisa menutup overhead compartment
tanpa perlu memanjat di bangku), mata juga kudu dalam keadaan sehat
(alhamdulillah lagi, dulu di tempat saya bekerja, boleh pake soft lens atau
kacamata), sehat jasmani dan rohani sudah pasti lah ya... dan beberapa
persyaratan lain.
Urusan bisa
berenang sebenarnya sih wajib bisa tapi kalaupun ada emergency, pake life vest
kan? Dan ini sesuatu yang juga bisa dipelajari. Saya pribadi walau hobi
berenang tapi takut ketinggian. Hihihi.. pramugari tapi takut ketinggian? *Dan
sampai sekarang saya masih takut!*
Saat training
proses penyelamatan di darat, kita disuruh jump and slide (dengan bentuk slide dan
ketinggian mirip sebenarnya), saya hampir saja gagal karena gak berani untuk
meluncur. Sampe diancam sama ibu instructor kalau bakal gak lulus. Akhirnya saya
beranikan diri. Alhasil saat recurrent training (training tiap tahun untuk me-refresh
ingatan), ini selalu menjadi mimpi buruk saya.
Selain kita
harus mempelajari flow of service di dalam pesawat, cara melakukan pelayanan
dengan benar dsb yang berhubungan dengan servis dari buku yang tebalnya ratusan
halaman, buku tentang safety yang ratusan halaman juga menjadi bahan yang
isinya kudu dihafal.
Saya gak tahu sih standar penerbangan lain. Dulu kalau
di tempat saya, 1.5 jam sebelum penerbangan, selama 30 menit, kita ada briefing untuk posisi dan merefresh
ingatan akan isi buku ‘safety flight procedure’. Biasanya yang nanya sih supervisor atau
purser. Pertanyaan bisa diajukan ke seseorang atau kepada siapa yang mau
menjawab.
Pertanyaan sekedar
bagaimana membuka dan menutup pintu sih gak bakal bikin berdebar – debar. Yang bikin
jantung mau copot, kalau tiba – tiba ditanyakan gimana menolong orang sakit
jantung atau ibu – ibu yang mau melahirkan.
Pada dasarnya,
untuk urusan sakit kita bisa bikin pengumuman mencari dokter di dalam pesawat. Nah,
kalau gak ada???? Mau gak mau kita harus bisa. Pada kondisi ini diperbolehkan
membuka buku. Tapi lagi - lagi, buku tersimpan di tas di suatu overhead
compartment, perlu waktu untuk buka dan mencari – cari infonya. Kembali lagi,
ya akan lebih baik kalau kita tahu langkah
- langkahnya di dalam ingatan.
Pertanyaan soal
emergency landing juga bakal sering ditanyakan. Gimana – gimananya kalau
terjadi ditching di laut atau di darat. Dari yang saya inget (secara udah 8 tahun
resign), kru di kabin harus memastikan bahwa kapal sudah beneran berhenti dan
pastikan gak ada percikan api di luar (di darat), sementara untuk di laut,
lihat juga bagian pintu mana yang bisa dibuka dimana air tidak lebih tinggi
dari pintu pesawat.
Teori boleh
teori tapi dalam keadaan darurat, jangan harap ini semua bisa diingat. Siapapun,
walaupun itu kru di kabin, pasti panik! Alhamdulillah saya gak pernah mengalami
yang aneh kecuali hanya turbulence yang unik dan bikin berloncatan. Dasar sayanya
aneh, malahan saya suka dengan turbulence.
Sahabat baik
yang juga sering terbang dengan saya, malahan panik kalau ini terjadi. Dia
pasti langsung nyari saya dan duduk dekat saya. Sementara saya berusaha menenangkan
penumpang yang terdekat dengan saya. Jadi dalam keadaan turbulence pun, kru
sebenarnya harus duduk di bangku dan memasang seat belt. Untuk penumpang,
selain lampu tanda sabuk pengaman dinyalakan, juga ada pengumuman dari kru di
kabin atau dari kokpit.
Walaupun begitu,
bukan gak pernah saya mengalami kepanikan. Suatu saat, dalam penerbangan menuju
Bombay, sebelum landing, kita mempersiapkan segala sesuatunya dan duduk di
jumpseat (kursi untuk kru). Terbayang lah penerbangan yang hampir selesai. Apa yang terjadi, saat pesawat akan touch
down,in a split second, pesawat kembali
naik ke atas. Duh, panik lah, ada apa gerangan? Hanya saja, kepanikan hanya
berkecamuk di dalam hati, saya berusaha tersenyum kepada penumpang di depan
saya sambil menenangkan dan bilang segala sesuatu baik – baik saja. Setelah landing
saya baru tahu kalau saat itu hujan deras dan tidak aman untuk mendarat.
Begitu juga
dalam keadaan terjadinya kebakaran di dalam kabin, fire extinguisher terdapat
beberapa di dalam pesawat dengan kapasitas untuk melawan api dalam hitungan
detik. Bayangkan kalau ini terjadi dan kru tidak ingat langkah – langkahnya? Dan
extinguisher yang tersedia ada 2 macam, kudu dibedakan apa penyebab kebakaran
agar dapat digunakan alat yang tepat.
Dengan rating
(izin untuk terbang pada jenis pesawat tertentu) yang biasanya lebih dari satu jenis pesawat.
Kita harus hafal dimana saja posisi fire extinguisher, water extinguisher,
oksigen, medical kit, rescue beacon, dll. Posisi must have items di pesawat ini
kudu dihafal! Saat itu saya punya rating untuk MD – 90 (ini paling mudah), B
747 – 100/300/400 (posisi alat – alat tersebut tentunya berbeda - beda) dan B
777 – 200. Walau sudah terbiasa, jujur saya kadang kudu nanya ke teman terbang
saya karena tidak benar – benar hafal atau membuka pintu.
Sebelum penerbangan,
kita juga ‘seharusnya’ memeriksa apakah life vest tersedia di setiap bawah
kursi. Secara ada aja orang iseng yang suka membawa pulang sebagai kenang –
kenangan. Duh!
Begitu juga
dengan safety card, kita harus memastikan setiap bangku mempunyai safety card
ini dan mereka yang duduk di dekat pintu/pintu darurat, kudu punya safety card
yang sesuai. Di pintu ini, penumpang tidak boleh sembarangan, mereka dikenal
sebagai ABP (Able Bodied Person) untuk membantu kabin kru saat terjadi
emergency landing. Mereka yang duduk
disini juga tidak boleh keluarga, untuk menghindari penyelamatan sesama
keluarga saja.
Oalah, kalau
ditulis disini panjang bener deh. Masih banyak prosedur – prosedur lainnya. Kokpit
pesawat pun selalu menekankan bahwa kru di kabin merupakan ‘mata’. Secara, kru
di kabinlah yang bisa melihat apa yang terjadi di luar pesawat dengan jelas
maupun apa yang terjadi di dalam pesawat.
Walau kru di
kabin gak diajarkan cara menerbangkan pesawat tapi kita harus tahu jika salah
satu orang di kokpit mengalami masalah kesehatan (incapacitated). Bagaimana mengatur
bangku kokpit dsb agar jangan sampai ada tombol yang tertekan.
Dengan segala
keriwehan pekerjaan yang terkesan gampang ini, sebenarnya wajar saja jika pekerjaan di pesawat ini memberikan reward
berupa gaji di atas pekerjaan lainnya.
Di lain
waktu nanti saya tuliskan deh apa saja yang efek yang mengintai mereka yang
bertahun – tahun bekerja di dalam pesawat.
Gambaran singkat,
di dalam pesawat dengan udara buatan yang terbatas, kalau sekali – sekali jadi
penumpang sih gak apa – apa, tapi kalau bertahun – tahun??? *just figure it
out*
Oke deh,
nanti saya lanjutkan lagi di tulisan berikutnya. Time to sleep. Zzzz....
Jadi pramugara/i aja segambreng ya itu tes-tesnya, apalagi pilot? Kudu bisa bahasa Inggris dan kudu hafal route dll. Tapi, dari dulu sampai sekarang ogut masih punya cita-cita buat kerja di penerbangan lho :))
ReplyDeletehahaha..coba gih ngelamar di penerbangan haji. pasti diterima untuk pramugara. lumayan duitnyaaa.
DeleteWedew, itu sih gak susah lagi~ Tiap kerja sepertinya adalah tantangan. Salut saya yang kerjanya diatas pesawat mulu, berat. Belum lagi kalau ketemu penumpang yang suka godain atau penumpang yang kadang bandel kayak saya :P
ReplyDeletewhat? fahmi suka godain?? masasih.....hehehe...
Delete